Oleh: Ragil Nugroho
Apa yang terjadi pada PKS [Partai Keadilan Sejahtera] saat ini
mengingatkan pada peristiwa “Razia Agustus Sukiman” 1951—sebuah kejadian
untuk menjegal konsolidasi PKI [Partai Komunis Indonesia]. Bisa jadi
“razia” terhadap orang-orang PKS akan terus berlanjut: besok, misalnya,
Anis Matta ditangkap, lusa Hilmi Aminuddin, minggu depan Fahri Hamzah
atau yang lain. Pada titik ini mungkin pengalaman PKI menghadapi situasi
krusial bisa menjadi referensi bagi PKS.
Setelah dipukul secara politik dengan episode ditangkapnya Luthfi Hasan
oleh KPK, PKS mampu berkonsolidasi dan bangkit. Dalam Pilkada di dua
propinsi besar di Indonesia—Jawa Barat dan SumateraUtara—PKS bisa muncul
sebagai jawara. Kini PKS berusaha digodam lagi melalui kasus Acmad
Fathanah—persis mendekati Pilkada di Jawa Tengah. Pun, tahun 1951 PKI
digencet habis-habisan oleh kabinet Sukiman. Setelah berhasil menata
diri setelah diporak-porandakan pada Peristiwa Madiun 1948, PKI lewat
Aidit dan Politbiro berhasil memperkuat partai. Tatkala usaha itu baru
berjalan, PKI dikejar-kejar atas tuduhan palsu dengan sebuah kejadian
yang kemudian bermuara pada “Razia Agustus Sukiman”.
Apa sebenarnya “Razia Agustus” itu? Dan, bagaimana PKI menghadapi situasi krisis itu?
Berikut uraiannya:
Usaha untuk menjegal PKI tak pernah putus-putusnya. Setelah “teror
putih” Madiun 1948 yang dilakukan oleh kabinet Hatta, PKI kembali
dihadapkan pada usaha kabinet Sukiman untuk “menggangu” konsolidasi
partai. Kabinet Sukiman-Suwiro [terkenal dengan sebutan kabinet Su-Su]
menandatanggani perjanjian pertahanan dengan Amerika Serikat. Perjanjian
itu berkaitan dengan Perang Korea yang sedang memanas. Pada saat itu
Amerika mendukung Korea Selatan.
Perang Korea tidak bisa dilepaskan dari situasi Perang Dingin yang
melibatkan AS dan Uni Soviet. Sebagai bentuk kesetian pada AS, agar
terlihat anti kiri kabinet Sa-Su melakukan penangkapan secara membabi
buta terhadap orang-orang komunis. Penangkapan tersebut didasarkan pada
tuduhan palsu, yakni aksi penyerbuan sekelompok pemuda berkaos
“Palu-Arit” ke kantor polisi di Tanjung Periuk. Atas tuduhan rekayasa
tersebut orang-orang PKI secara liar. Kurang lebih 2.000 orang yang
dianggap komunis ditangkap dan dijebloskan ke penjara.
Tak mengejutkan memang. Dalam operasi gadungan tersebut banyak sekali
terjadi kesalahan dalam penangkapan. Peringkusan atas diri Abdulah
Aidit—ayah DN AIdit—merupakan kekeliruan paling menggelikan dan koyol.
Abdullah Aidit merupakan anggota DPR dari fraksi Masyumi [satu partai
dengan Sukiman sendiri]. Hanya karena sama-sama ada kata “Aidit” di
namanya, ia ditangkap. Sutan Syahrir [musuh politik PKI], Ang Yan Gwan
pendiri Suratkabar Sin Po dan Siauw Giok Tjhan, juga ditangkap padahal
tidak ada hubungannya dengan PKI. Mereka ikut disapu bersih hanya karena
disangkutpautkan dengan PKI.
Mengapa di muka disebut “tuduhan palsu” terhadap PKI? Ketika digelar
pengadilan secara terbuka terhadap tokoh-tokoh yang ditangkap, tuduhan
bahwa PKI menjadi dalang dalam “aksi Tanjung Priok” tak pernah terbukti.
Bahkan ketika Kabinet Su-Su akhirnya jatuh, terkuak bahwa “Razia
Agustus” dilakukan sebagai balas budi terhadap Amerika atas bantuan yang
diberikan, dan “aksi Tanjung Priok” hanya buatan mereka sendiri. Sebuah
rekayasa yang memang digunakan untuk menghancurkan PKI yang tengah
membangun organisasinya.
Walaupun pimpinan PKI seperti DN Aidit lolos dari penangkapan, “Razia
Agustus” sempat menggoyahkan partai karena banyak kader-kader terbaik di
daerah ditangkap. Dalam tulisan Jalan ke Demokrasi Rakyat bagi
Indonesia [tulisan ini dibuat tahun 1954], Aidit mengakuinya:
“Razia Agustus Sukiman tahun 1951 merupakan ujian yang berat bagi Partai
kita, karena peristiwa ini terjadi ketika Politbiro yang dipilih dalam
bulan Januari 1951 baru saja enam bulan mulai dengan pekerjaannya
mengonsolidasi Partai dan terjadi dalam keadaan di mana hubungan Partai
belum erat dengan massa, terutama dengan massa kaum tani.”
Tapi Aidit dan Politbiro PKI tak lintang pukang. Kekuatan partai segera
direkatkan kembali. PKI bekerjasama dengan kekuatan nasionalis anti
Amerika mengisolasi kabinet Sa-Su. Aliansi yang digalang PKI akhirnya
berhasil merobohkan kabinet Sa-Su sehinga “Razia Agustus” tidak berhasil
membuat mesin partai rusak lebih parah. Artinya, PKI tidak tinggal
diam, tapi melawan kekuatan anti-demokrasi yang akan menghancurkan
partai. Keberhasilan ini menumbuhkan kepercayaan diri pada kader-kader
PKI yang sebelumnya tertekan karena diburu-buru. Aidit menuliskan
sebagai berikut:
“Beberapa anggota yang pada permulaan Razia Agustus agak panik karena
ingat kembali akan keganasan kaum reaksioner ketika “Peristiwa Madiun”,
yang dikiranya akan terulang lagi dengan Razia Agustus, timbul kembali
keberanian dan kegembiraannya. Sukiman tidak berhasil menciptakan
“Peristiwa Madiun” kedua, karena di mana-mana ia tertumbuk pada kekuatan
demokratis.”
Sudah tepat PKS melakukan perlawan yang gigih terhadap lawan-lawan
politiknya. Demokrasi liberal tak ubahnya medan pertarungan para
Gladiator. Sudah sewajarnya siap berlawan kapan saja. Hanya saja
kekurangan PKS sepertinya terletak pada belum berhasilnya membangun
kekuatan yang lebih luas dengan kelompok-kelompok lain. Terlihat PKS
sendirian. Yang dihadapi PKS merupakan kekuatan politik yang sudah
menjangkar kuat sejak Orde Baru dan menguasai jaringan media yang luas.
Mereka terus menerus menggiring opini sampai pada usaha untuk pembubaran
PKS [PKS perlu berhati-hati dengan media yang dikelola jebolan Partai
Sosialis Indonesia (PSI). Media inilah selain media tentara yang telah
menfitnah PKI habis-habisan sehingga berujung pada pembantaian jutaan
orang-orang komunis yang tak bersalah paska tragedi 1965]. Giringan
pembubaran partai ini sama persis dengan tindakan yang dilakukan
kekuatan anti demokrasi pada tahun 1965 yang terus menerus berupaya agar
PKI dibubarkan. Tak bisa lain, usaha pembubaran partai seperti itu
mesti dilawan. Di sinilah PKS perlu mengajak kekuatan lain untuk
menghadapinya.
Terhadap kerusakan organisasi sebagai akibat dari “Razia Agustus”, PKI
mengambil dua langkah. Pertama, melakukan kritik oto kritik alias
melakukan evaluasi diri. Langkah ini dilakukan dengan:
“Atas petunjuk-petunjuk Politbiro Sentral Komite, dihidupkan demokrasi
intern Partai serta kritik dan selfkritik. Sesudah melalui proses kritik
dan selfkritik dalam grup, resort, fraksi, dan komite Partai,
keberanian dan kegembiraan bekerja timbul kembali di semua organisasi
Partai.”
PKS sudah sewajarnya melakukan apa yang dilakukan PKI: kritik dan self
kritik. Ini penting agar orang-orang seperti Acmad Fathanah tidak bisa
masuk dalam lingkaran partai. PKS perlu self kritik bahwa partai kurang
waspada terhadap orang-orang yang mempunyai potensi akan merusak partai
dari dalam. Apabila hal seperti itu tidak diatasi dengan segera, maka
lawan politik akan dengan senang hati menggunakannya sebagai senjata.
Dalam situasi yang semakin mendidih menjelang Pemilu 2014, kesalahan
sekecil biji sawi bisa digunakan untuk menghancurkan partai. Kritik dan
self kritik juga penting seperti yang dikatakan Aidit, yakni guna
menumbuhkan dikalangan kader: keberanian dan kegembiraan bekerja. Ini
penting karena bagaimanapun kader merupakan tulangpunggung partai.
Kedua, yang dilakukan PKI guna memperbaiki organisasi setelah “Razia
Agustus” adalah penguatan ideologi para kader. Aidit menuliskan langkah
itu sebagai berikut:
“Usaha memperkuat ideologi anggota Partai untuk pertama kalinya dalam
sejarah Partai kita dimulai dalam Razia Agustus dengan apa yang
dinamakan ‘diskusi teori’ yang diadakan secara periodik, di samping apa
yang dinamakan ‘diskusi tentang pekerjaan praktis’ yang juga dilakukan
secara periodik di dalam grup, resort, fraksi, dan komite Partai.”
Tujuan serangan musuh selain untuk membuat partai terpojok secara
politik juga mengkondisikan agar kader-kader partai demoralisasi [patah
semangat]. Para lawan-lawan politik PKS tentu berharap pukulan mereka
yang bertubi-tubi dengan mengeksploitasi Fathanah, misalnya, yang
digambarkan dekat dengan pimpinan partai dan mimiliki moral yang “cacat”
karena berhubungan dengan perempuan-perempuan yang dikesankan “tidak
baik”, akan membuat kader partai demoralisasi.
Lawan politik tahu bahwa salah satu kekuatan PKS terletak pada
kader-kader partai yang militan. Lawan politik PKS ingin menunjukkan:
“Itu lho pimpinamu bejat. Kalian hanya ditipu saja selama ini. Kalian
disuruh berjuang sementara pimpinanmu asyik masyuk dengan para
perempuan.” Tak mengherankan kalau opini semacam itu terus diolah dari
detik ke detik. Cara-cara semacam itu paling kotor karena menjadikan
perempuan senjata untuk menyerang lawan politik, telah meletakkan
perempuan dalam derajat terendah: menjadikannya tumbal dan permainan
politik.
Bila opini yang dikembangkan musuh bisa membuat kader demoralisasi, maka
akan dianggap sebagai sebuah keberhasilan maha besar. Nah, di sinilah
apa yang dilakukan PKI dengan mengadakan “diskusi teori” menjadi penting
artinya. Tujuannya agar selain para kader bisa meningkat kemampuan
teoritisnya—yang sangat dibutuhkan untuk kerja-kerja
pengorganisiran—juga bertujuan supaya para kader tidak mudah termakan
propaganda lawan. Ibaratnya, penguatan ideologi merupakan perisai.
Jangan sampai sibuk menangkal serangan lawan sehingga lupa memperkuat
perisai dikalangan kader. Lawan akan tertempik sorak ketika para kader
PKS tercerai berai secara ideologi dan tidak melakukan kerja-kerja
pengorganisiran. Adalah benar menangkal serangan lawan, tapi konsolidasi
ideologi tak bisa ditanggalkan.
Di sini bisa diambil titik simpul: yang dilakukan PKI tepat. “Razia
Agustus” yang sempat membuat partai limbung bisa diatasi melalui
tahapan-tahapan kerja seperti yang telah diuraikan di muka. Sebagai
buktinya, PKI berhasil masuk 4 besar dalam Pemilu 1955. Kalau PKS bisa
melewati situasi krusial seperti PKI, maka tidak menutup kemungkinan
target menjadi 3 besar dalam Pemilu 2014 akan bisa tercapai. Semuanya
tergantung pada PKS sendiri.***
Lereng Merapi. 12.05.2013
*http://tikusmerah.com/?p=587